ISTIA'RAH THAMSILIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
Al-qur’an adalah mukjizat terbesar yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dan kemukjizatannya terkandung pada aspek bahasa, salah satu nya ilmu majazul qur’an. Di dalam ilmu majazul qur’an terdapat banyak cabang-cabang ilmu balaghah, salah satunya isti’arah. Mengkaji isti’arah secara umum harus dimulai dengan definisi mengenainya, karena isti’arah merupakan seni bertutur atau seni ungkapan yang amat umum dan berlaku bagi setip bahasa. Menurut pandangan dan kesimpulan para ahli klasik, isti’arah mengacu pada perbandingan yang disederhanakan atau penggantian sesuatu yang sejatinya dengan ungkapan lain yang tidak sejatinya berdasarkan ukuran atau kriteria – kriteria persamaan ataupun kemiripan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Isti’arah Tamstiliyah
Secara bahasa isti’arah artinya peminjaman, Menurut pandangan Ibn Qutaibah, orang arab punya kelaziman untuk “meminjam kata” dan menempatkannya untuk kata lain yang tatkala ditemukan sebab ataupun alasan – alasan yang memungkinkannya. Dalam kitab terjemahan Al- Balaghatul Wadhihah isti’arah adalah : “ Tasybih yang dibuang salah satu tharafnya ( musyabbah dan musyabbah bih ), oleh karena itu hubungan antara makna hakiki dan makna majazi adalah musyabbahah . Menurut D.Hidayat dalam kitabnya balaghah lil jami’ , istiarah menurut bahasa adalah meminjam, maksudnya adalah meminjam suatu kata untuk mengungkapkan suatu makna, sedangkan menurut istilah, isti’arah adalah penggunaan kata-kata bukan dalam pengertian sebenarnya, melainkan dalam arti kiasan, hubungan antara makna kiasan dan makna sebenarnya ( hakiki ) adalah hubungan persamaan ( musyabbahah ).
Tamtsiliyah adalah suatu susunan kalimat yang musyabbah dan musyabbah bihnya merupakan gambaran yang disusun dari beberapa hal. Pengertian isti’arah tamsiliyah menurut Fadhal Hasan Abbas dalam kitabnya Al-Balaghah fununuha wa afnanuha adalah : “ Menyerupakan bentuk kalimat satu dengan bentuk kalimat lain, karena diantara keduanya terdapat hubungan dari segi makna, kemudian bentuk kata pertama dibuang yaitu musyabbah dan bentuk keduanya masih tetap yaitu musyabbah bih. Sedangkan menurut Ali Al-Jarimi dan Mustafa Amin, isti’arah tamtsiliyah :
اْلإِسْتِعَارَة التمْثِيلِية هِيَ تَرْكِيْبٌ اُسْتُعْمِلَ فِيْ غَيْرِ مَا وُضِعَ لَهُ لِعَلاَقَة الْمُشَابَهَة مَعَ قَرِيْنَةٍ مَانِعَةٍ مِنْ اِرَادَةِ مَعْنَاهُ اْلأَصْلِي
“Suatu susunan kalimat yang digunakan bukan pada makna aslinya karena ada hubungan keserupaan ( antara makna asli dan makna majazi ) disertai adanya qarinah yang menghalangi pemahaman terhadap kalimat tersebut dengan makna asli”.
Unsur-unsur Isti’arah
Unsur-unsur Isti’arah mempunyai 3 unsur :
• Musta’ar minhu ( Lafal Musyabbah bih )
• Musta’ar ( Lafal Musyabbah )
• Musta’ar lahu (titik temu antara keduanya )
Pada hakikatnya isti’arah adalah tasybih yang dibuang salah satu tharafainnya ( must’ar minhu atau musta’arlahnya ) dan dibuang pada wajah syibh dan adat tasybihnya.
B. Contoh –contoh Isti’arah Tamtsiliyah
a. Surat Al – Hujurat ayat 1 :
يأ يّها الذين ءامنوا لاتقدّموا بين يدي الله ورسوله واتّقوا الله...
“Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah....”
Pada contoh diatas kalimat majazi nya adalah لا تقدّموا بين يدى الله ورسوله (janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya ) diserupakan dengan tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Allah dan Rasulnya.
b. عَادَ السَيْفُ اِلَى قِرَابِهِ , وَ حَلَّ اللَّيْثُ مَنِيْعَ غَابِهِ
( Pedang itu telah kembali ke sarungnya dan singa itu menempati sarang nya dihutan )
Pada kalimat diatas semua kalimat tersebut merupakan kalimat majazi dan diserupakan dengan seorang mujahid yang kembali ke negaranya setelah berpergian. Karena ketika seorang laki – laki yang habis bekerja pulang kenegaranya maka ia bukanlah pedang hakiki yang kembali kesarungnya dan bukan singa yang menempati kembali sarangnya. Dengan demikian kedua susunan kalimat itu tidak dipergunakan dalam arti yang hakikat, sehingga kedua kalimat itu adalah majaz. Karinah nya adalah haliya. Hubungan antara kedua makna, hakiki dan majazinya, adalah musyabbahah ( unsur keserupaan ) karena keadaan orang yang pergi jauh dari negaranya untuk bekerja keras dan kembalinya kenegaranya setelah lama bersusah payah diserupakan dengan pedang yang terhunus dari sarungnya untuk berperang dan setelah mendapatkan kemenangan, ia akan kembali ke sarungnya. Demikian juga sing yang menempati sarang nya.
c. وَمَنْ يَكُ ذَافَمٍ مُرّ مريضٍ # يَجِدُ مُرًّا بِهِ الماءَ الزُّلَالاَ
( Barang siapa merasa pahit mulutnya karena sakit, niscaya air tawar terasa pahit oleh nya.)
Pada bait Al- Mutanabi tersebut menunjukkan makna yang hakiki yakni orang yang sakit dan mulutnya berasa pahit ketika ia minum air tawar, maka olehnya terasa pahit. Namun, penyair tidak menggunakannya untuk makna itu, tetapi ditujukan pada orang – orang yang mencela syairnya karena mereka tidak punya bakat syair, atau bagi orang yang tidak dianugerahi bakat untuk memahami keindahan syair. Jadi, susunan kalimat tersebut adalah majazi dengan kaitan makna adanya keserupaan. Musyabbah nya adalah keadaan orang yang mencela syair, dan musyabbah bih nya adalah keadaan orang yang sakit yang berasa pahit jika minum air tawar.
d. اَنْتَ تَرْقُمُ عَلَي المَاءِ
( Engkau melukis di permukaan air )
Kalimat ini disampaikan kepada orang yang menekuni suatu urusan yang tidak mungkin dapat ia capai dengan tuntas. Orang yang bersikeras mencapai suatu perkara yang mustahil diserupakan dengan orang yang melukis dipermukaan air. Titik keserupaannya adalah sama-sama mengerjakan sesuatu yang tidak membawakan hasil. Kemudian kalimat yang menunjukkan keadaan musyabbah bih nya itu ditujukan kepada musyabbah sebagai isti’arah tamtsiliyah.
e. قَبْلَ الرِّمَاءِ تُمْلاَءُ الكَنَائِنُ
( sebelum memanah, wadah anak panah harus penuh )
Kalimat ini disampaikan kepada orang yang akan membangun rumah, namun belum cukup biayanya. Orang yang hendak membangun rumah sebelum terkumpul biayanya diserupakan dengan orang yang hendak maju perang namun wadah panahnya masih kosong. Titik keserupaannya adalah sama-sama tergesa-gesa dalam suatu hal sebelum persediaannya seimbang. Susunan kalmat yang meunjukkan keadaan musyabbah bih nya disampaikan kepada musyabbah sebagai isti’arah tamtsiliyah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
• Isti’arah adalah penggunaan kata-kata bukan dalam pengertian sebenarnya, melainkan dalam arti kiasan, hubungan antara makna kiasan dan makna sebenarnya ( hakiki ) adalah hubungan persamaan ( musyabbahah ).Isti’arah yaitu bentuk tasybih atau penyerupaan yang tidak menggunakan adat at-Tasybih atau perangkat Tasybih, baik yang di lafalkan maupun yang di takdirkan.
• Istia’rah tamtsiliyah adalah suatu susunan kalimat yang digunakan bukan pada makna aslinya karena ada hubungan keserupaan ( antara makna asli dan makna majazi ) disertai adanya qarinah yang menghalangi pemahaman terhadap kalimat tersebut dengan makna yang asli.
• Isti’arah mempunyai tiga unsur yaitu, Musta’ar yaitu lafal musyabbah, Musta’ar minhuyaitu lafal musyabbah bih dan Musta’arlahu titik temu antara keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali al-jarimi dan Musafa Amin, Balaghatul Wadhihah, terj.( Bandung : Sinar Baru Algesindo 2010).
D.Hidayat, Balaghah lil jami’. ( Semarang : PT.Karya Toha Putra, 2012 ).
Sayyid Ahmad al- Hasyimi, Jawahirul Balaghah, Maktabah dar ihyal kutubil arabiyah, 1960.
Izin menuqil untuk referensi presentasi
BalasHapusdaftar pustakanya ga dicatat di catatan kakinya jd bingung
Hapussecara lengkap
BalasHapusIzin copas makalahnya kak 🙏🏼
BalasHapus