Perkembangan Madrasah Tafsir
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Madrasah Tafsir
Dari beberapa sumber yang telah kami dapatkan, tidak ada yang
menegaskan secara pasti apakah madrasah tafsir pada masa tabiin terus
berkembang hingga pada generasi setelahnya. Adapun beberapa sumber buku
tersebut diantaranya:
1.
Dalam
buku karangan Hasbi as-Shiddiqy disebutkan bahwa dari madrasah-madrasah sahabat
dan tabi’ tabiin itu, terhimpunlah sebuah himpunan tafsir bil ma’tsur yang
sebagian disandarkan kepada sahabat seperti Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas. Dan
sebahagian besar dari padanya disandarkan kepada tabiin seperti Mujahid,
Qatadah, Masruq, Hasan Basri dan lainnya.[1]
2.
Didalam
kitab Manahil Irfan fi Ulum al-Qur’an karya az-Zarqani disebutkan
و
عنهم اخذ تابعو التابعين و هكذا حتى وصل الينا دين الله وكتايه وعلومه[2]
Maksudnya dan dari merekalah yaitu tabiin, para tabi’ tabiin
mengambil penafsiran dan begitulah seterusnya hingga sampai kepada kita baik
itu berupa kitabnya dan juga ilmunya.
3.
Kaum
tabi’ tabiin (generasi ketiga kaum muslimin) meneruskan ilmu yang mereka terima
dari kaum tabiin. Mereka mengumpulkan semua pendapat dan penafsiran al-Qur’an
yang dikemukakan oleh para ulama terdahulu (kaum salaf dan tabiin), kemudian
mereka tuangkan kedalam kitab-kitab tafsir, seperti yang dilakukan oleh Sufyan
bin ‘Uyainah, Waki’ bin al-Jarrah, Syu’bah bin al-Hajjaj, Yazid bin Harun,
Abdullah bin Hamid dan lainnya.[3]
Semua sumber tersebut hanya menjelaskan secara umum bahwa
penafsiran pada masa tabiin selanjutnya diteruskan oleh tabi’ tabiin tanpa
mencantumkan dengan jelas adakah kelanjutannya dari penafsiran pada masa tabiin
tepatnya madrasah tafsir.
Hal ini pun tidak lain terjadi karena pada masa tabi’ tabiin
tepatnya pada masa pembukuan yang dimulai pada akhir Dinasti Umayyah dan awal
Dinasti Abbasiyah, banyak sekali ilmu pengetahuan yang bermunculan sehingga
menyebabkan penafsiran yang terjadi cenderung menjurus langsung pada
kecenderungan keilmuan masing-masing mufassir. Salah satunya adalah Imam
as-Syafi’i (w. 204 H). Kitab tafsir karangannya yaitu Ahkam al-Qur’an
yaitu kitab tafsir yang membahas tentang hukum-hukum al-Qur’an menurut paham
Imam as-Syafi’i.[4]
B.
Madrasah Makkah
Madrasah Tafsir yang pertama di Makkah didirikan dan
diprakarsai oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas
yang merupakan salah seorang sahabat yang sangat dekat serta sangat dicintai
Rasulullah saw. bahkan tinggal dengan Rasulullah saw.[5]
Kalangan Thabi’in yang meriwayatkan darinya diantaranya adalah Sa’id bin Jubair
(95 H/713 M), Mujahid ibnu Jabr Al-Makki (722 M), ‘Ikrimah (723 M), Thawus ibnu
Kaysan al-Yamani (160 H/724 M), ‘Atha’ibnu Abi Rabbah (w. 144 H/734 M),
Al-Dhahhak bin Muzahim (w. 150 H), dan Abu Sya’tsai Jabir bin Zaid al-Azdiy
al-Bashri (w.93 H).[6] Ulama-ulama Mekkah ini adalah ulama yang lebih
mengetahui tentang ilmu Tafsir.
Dinukilkan oleh As-Suyuthy dari Ibnu Taimiyah bahwasanya beliau
berkata “ ulama yang paling pandai tentang tafsir ialah Thabi’in Mekkah, karena
mereka terdiri dari sahabat-sahabat Ibnu Abbas, seperti Mujahid, Atha’ bin Abi
Rabbah, Ikrimah Maula Ibnu ‘Abbas, Said bin Jubair dan Thaus.”
Mujahid adalah orang yang paling di percaya diantara para perawi
tafsir yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas. Atha’ bin Abi Rabbah dan Ikrimah juga
termasuk menjadi murid dari Mujahid bin Jabr. As-Syafi’i, Al-Bukhari dan
tokoh-tokoh lainnya berpegang kepada tafsir Mujahid.
Atha’ dan Said juga perawi-perawi terpandang dan dipercaya yang
meriwayatkan tafsir dari Ibnu Abbas.
Qatadah berkata, “tabi’in yang paling pandai tentang hal tafsir ada
empat orang, atha’ adalah orang yang paling pandai tentang manasik, sedang
Sa’id adalah orang yang paling pandai tentang Tafsir. Ikrimah seorang yang
terpandai.” Asy-Syafi’i mengatakan : “tidak ada seorang pun yang masih tinggal
yang lebih mengetahui tentang kitabullah daripada Ikrimah.”
Thaus ibn Kaisan adalah seorang ahli Ilmu yang terkenal. Beliau
bertemu dengan lima puluh orang sahabat Rasul dan beliau mengerjakan haji
sebanyak 40 kali.[7]
Dari para mufasir kalangan Thabi’in ini muncullah generasi
setelahnya yang dikenal dengan Thabi’ thabi’in yang meriwayatkan tafsir dari
Thabi’in, misalnya:
a.
Ibnu
Juraij
Nama lengkapnya adalah Abu
Walid Abu Al-Malik ibn Al-‘Aziz ibn Juraij Al-Awami. Beliau berasal dari bangsa
Romawi yang beragama kristen. Lahir pada
tahun 80 H di Makkah dan wafat pada tahun 150 H. Beliau termasuk salah seorang
tokoh ulama di Makkah dan pelopor penulisan kitab di daerah Hijaz. Beliau juga
seorang muhadditsin yang banyak meriwayatkan hadits dari ayahnya, Atha’ bin Abi
Rabbah, Zaid bin Aslam, Az-Zuhri dan lain-lain. Beliau juga meriwayatkan
diantaranya kepada Ismail bin Ibrahim dan Ibnu Idris.
Pada masa Thabi’in ia tercatat sebagai seorang tokoh israiliyat.
Ibnu Jarir At-Thabari banyak mengambil riwayatnya sehubungan dengan penafsiran
ayat-ayat yang berkenaan dengan Nasrani.[8] Salah satu kitab hasil karya Ibnu Juraij
adalah kitab tafsir Ibnu Juraij.[9]
Contoh penafsiran yang diriwayatkan Ibnu Juraij adalah dalam surat
Al-Bagarah ayat 198 :
}§øŠs9 öNà6ø‹n=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§‘ 4 !#sŒÎ*sù OçFôÒsùr& ïÆÏiB ;M»sùttã (#rãà2øŒ$$sù ©!$# y‰YÏã Ìyèô±yJø9$# ÏQ#tysø9$# ( çnrãà2øŒ$#ur $yJx. öNà61y‰yd bÎ)ur OçFZà2 `ÏiB ¾Ï&Î#ö7s% z`ÏJs9 tû,Îk!!$žÒ9$# ÇÊÒÑÈ
“Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.
Maka apabila kamu Telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di
Masy'aril haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang
ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar
termasuk orang-orang yang sesat.”
Ibnu jurail meriwayatkan dari Amr ibn dinar dari ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa dimasa jahilyah tempat peniyagaan orang-orang berada diukaz,
mainnah zulmajaz. Setelah islam datang, merekan tidak menyukai hal tersebut.
Maka turunlah ayat ini.[10]
b.
Al-Laits
bin Sa’ad
Nama lengkapnya adalah Laits bin Sa’ad bin Abdirrahman Al-Fahmayyu
Abu Al-Harits Al-Mashri, budak dari Abdurrahman bin Khalid bin Musafir.
Sebagian ada yang mengatakan bahwa beliau adalah budak dari Bani Tsabit bin
Zha’in. Tempat kelahiran beliau adalah qarqasyandah yaitu sebuah desa yang
terlatak disekitar farsakh dari ibu kota mesir, cairo pada tahun 74 H, dan
sebagian orang mengatakan bahwa beliau lahir ditahun 73 H. Yahya bin Bakir dan
Said bin Abi Maryam berkata,” Al-Laits pada pertengahan bulan sya’ban pada
tahun 175 Hijriyah.”
Yahya berkata,”Al-Laits meninggal pada hari jum’at, dan Musa bin
Isa ikut menyalatinya.” [11]
Al-Laits termasuk pimpinan thabi’ thabi’in, dan ulama-ulama yang
hidup sezaman dengannya adalah Malik, Sufyan dan Al-Auza’i. Beliau adalah
pimpinan dalam ilmu hadits, fiqh dan kedermawanan. Dari Harun bin Said dia
berkata,” aku mendengar Ibnu Wahab berkata, setiap tulisan dalam kitab malik
yang berbunyi” dan menceritakan kepadaku seorang yang telah aku ridhai dari
kalangan ahlul ilmi,” maksudnya adalah Al-Laits bin sa’ad.[12]
Al-Fadhl bin Zyat berkata,” Ahmad telah berkata,” Al-Laist adalah
ulama yang banyak menguasai bidang ilmu, dan haditsnya shahih.”
Dari ahmad bin sa’ad Az-zuhri dia berkata “ aku mendengar ahmad bin
hambal berkata,” riwayat dari Al-Laits dapat dipercaya dan shahih.”
Utsman Ad-Darami berkata, aku mendengar yahya bin mail berkata, “Al-laits
lebih aku senangi dari pada yahya bin Ayyub, sedang yahya bin ayyub riwayatnya dapat
dipercaya,”aku bertanya, “bagaimana hadisnya yang diriwayatkan dari Nafi’,
Yahya bin Ma’in menjawab, hadis itu
adalah hadis benar dan perawinya dapat dipercaya.”[13]
Guru-guru Al-Laits diantaranya adalah Nafi’, Yazid bin abi habib,
Atha’ bin abi Rabah, Abu Azinad bin Rabah, Abu Az-Zubair Al-Makki, Shafwan bin
Salim, Yahya bin Ayyub, Abdul Aziz Al- Majisyun, sekelompok orang yang hidup
sezaman dengannya atau orang-orang yang hidup setelahnya.
Adapun murid-muridnya diantaranya adalah Al-Hafidz berkata, “orang-orang
yang meriwayatkan dari Al-Laits adalah
Syu’aib, Muhammad bin ‘Ajlan, Hisyam bin sa’ad, Hasyim bin Basyir, Qais bin
arabi’, ‘Athaf bin Khalid, mereka ini adalah orang yang hidup sezaman dengan
Al-Laits, Abdullah bin Abdi Hakam, Syababah bin Suwar dan Abdullah bin Yahya
Al-Barlasi[14].
C.
Madrasah Madinah
Dari Madrasah Tafsir di Madinah yang dipelopori oleh sahabat Ubay
bin Ka’ab, kemudian di teruskan oleh para muridnya dari kalangan Tabi’in. Dia
antaranya: Zaid bin Aslam, Abu ‘Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab al-Quradhi.
Di antara para murid Ubay bin Ka’ab yang disebutkan di atas, mereka
lebih menonjol mengembangkan ilmu-ilmu al-Quran seperti ilmu Qiraat, ilmu
Tafsir dan lain sebagainya.
Namun seiring berjalannya waktu, para Tabiin di atas (murid Ubay)
juga meriwayatkan ilmu-ilmu mereka kepada generasi sesudah mereka (Tabi’
tabi’in), yang mana Zaid bin Aslam yang menjadi guru kepada anaknya Abdurrahman
bin Zaid dan Malik bin Anas.
Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, awal peletakan kaedah-kaedah
bahasa Arab. Usaha yang dilakukan Ali tersebut, dipandang sebagai peletakan
dasar ilmu i’rab al-Quran. Tokoh-tokoh yang berjasa dala m menyebarkan ulum
al-Quran melalui periwayatan adalah.
1.
Khulafa
al-Rasyidin, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abu Musa
al-Asy’ary dan Abdullah bin Zubair. Mereka dari golongan Sahabat.
2.
Mujahid,
Atha’, Ikrimah, Qatadah, hasan al-Basri, Sa’id bin Jubair, dan Zaid bin Aslam.
Mereka dari golongan Tabiin.
3.
Malik
bin Anas, dari golongan Tabi’ Tabi’in, ia memperoleh ilmunya dari Zaid bi
Aslam.
Tokoh-tokoh ini di anggap orang-orang yang meletakkan dasar ilmu
tafsir, ilmu asbab al-Nuzul, ilmu nasikh dan Mansukh, ilmu Gharib al-Quran, dan
lain-lain[15]. Pada abad kedua Hijriah, upaya pembukuan ulum
al-Quran mulai dilakukan, namun pada masa ini perhatian ulama lebih banyak
terfokus pada tafsir. Di antara ulama tafsir pada masa ini adalah: Sufyan Sauri
(w. 161 H), Sufyan bin Uyainah (w.198 H), Waki’bin al-Jarrah (w. 197), Syu’bah
bin al-Hajjaj (w. 160), Muqatil bin Sulaiman (w.150 H). Tafsir-tafsir mereka
umumnya memuat pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in. [16]
·
Malik
bin Anas (93 H-179 H)
Nama asli beliau Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin
al-Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin al-Harits al- Ashbahi
al-Humairi, Abi Abdillah al-Madani dan merupakan imam Dar al-Hijrah. Beliau
lahir pada tahun 93 H, yaitu pada tahun dimana Anas, pembantu Rasulullah,
meninggal. Az-Zahabi berkata, “Malik mulai menuntut ilmu ketika umurnya
menginjak belasan tahun, sedang Malik mulai memberikan fatwa dan keterangan
tentang Hukum ketika umurnya 21 tahun.
An-Nawawi berkata,”al-Imam Abu al-Qasim Abdul Malik bin Zaid bin
Yasin ad-Daulaki dalam kitab al-Risalah al-Musannafah fi Bayani subulu
al-Sunnah al-Musyarrafah berkata: Malik mengambil Hadis dari sembilan ratus
guru yaitu tiga ratus orang dari golongan Tabiin dan enam ratus dari tabi’
tabiin, guru-guru Malik adalah orang-orang yang dia pilih, yanh pilihannya di
dasarkan pada ketaatannya beragama, ilmu Fiqhnya, cara meriwayatkan Hadis,
syarat-syarat meriwayatkan dan mereka orang-orang yang bisa dipercaya.
Malik mengambil Hadis dari Nafi’, Said al-Maqburi, Zaid bin Aslam,
Safwan bin Salim, Ishaq bin Abi Thalhah, Muhammad bin Yahya bin Hibban,
Abdullah bin Dinar, Wahab bin Kaisan, Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, Abu
al-Zinad, Yahya bin Said dan lainnya. Sedangkan orang-orang yang meriwayatkan
dari Malik, di antaranya adalah guru-gurunya: az-Zuhri, Rabi’ah, Yahya bin Said
dan lainnya. Sedangkan orang-orang yang hidup sezaman dengan Malik adalah
al-Auza’i, as-Tsauri selain mereka seperti as-Syafi’i dan lainnya.
Salah satu karya Imam Malik di bidang Hadis adalah, al-Muwattha’
, al-Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi berkata, al-Muwattha’ adalah dasar utama dan
inti dari kitab-kitab Hadis. Malik telah mengumpulkan Hadis dalam al-Muwattha’
sebanyak sepuluh ribu Hadis. Beliau pernah berkata: kitab ini aku karang selama
empat puluh tahun, dan aku mengoreksinya setiap empat puluh hari sekali, tidak
ada hadis di dalamnya yang tidak aku fahami. Malik juga berkata, aku telah
memperlihatkan kitabku ini kepada tujuh puluh Ulama Fiqh yang ada di Madinah,
mereka semua memberikan masukan dan menyetujuinya.
Selain di bidang Hadis, Imam Malik juga mengembangkan ilmunya di
bidang Fiqh. Sebagaimana kutipan dari Imam adz-Zahabi “ ilmu Fiqh berhulu pada
Imam Malik dan pendapatnya secara umum baik.” Mazhabnya terkenal dan tersebar
ke Maroko, Andalusia, Yaman, Sudan, Basrah, Baghdad, Kufah, sebagian Syam,
Mesir dan Khurasan. Di antara guru-gurunya adalah Nafi’ Maula Ibnu Umar, Ibnu
Syihab az-Zuhri dan Hisyam bin Urwah. Sedang murid-muridnya Yahya al-Qathan,
Abdullah bin Mubarak, Waqi’ bin Jarrah dan Syafi’i[17].
Di antara karyanya selain al-Muwattha’ adalah, Risalah fi al-Qadr, al-Sir, dan
Risalah fi al-Aqdhiyah.
Malik meninggal tahun 179 H,
pada usia 89 tahun, Qahabi berkata beliau meninggal di waktu shubuh pada
tanggal 14 rabiul awal[18].
·
Nafi’al-Madani
(70- 169 H)
Nafi’ berasal dari Ashbahan, salah satu negeri di Persia. Ia
belajar dan berguru al-Qur’an kepada 70 tabi’in, antara lain: Abu ja’far Yazid
bin al-Qa’qa’, salah satu dari 10 ahli qira’at. Ia mengambil bacaan dari Ibnu
Abbas dan Abu Hurairah serta dari tuannya Abdullah bin Iyyasy bin Abu Rabi’ah.
Sedang Abdullah bin Iyyasy mengambil
ilmu bacaan dari Ubay bin Ka’ab. Imam Nafi’ juga berguru pada Muslim bin
Jundub, Syaibah bin Nashshah (ia dikenal sebagai orang yang menyusun waqaf
dalam al-Qur’an). Imam Nafi’ dikenal
sebagai orang yang zuhud dan dermawan. Ia belajar qira’at sejak tahun 95 H.
Imam adz-Dzahabi berkata, “barangkali ia mulai menjadi seorang pembaca
al-Qur’an sekitar 120-an H”. Ia juga belajar pada Yazid bin Ruman salah seorang
ahli Fiqh Madinah tapi lebih menonjol pada bidang al-Qur’an.
Nafi’ mempunyai murid di antaranya bernama Warasy (Utsman bin Said
bin abdullah bin Amr bin Sulaiman bin Ibrahim (110-197 H)), ia menjadi rujukan
terpercaya dalam ejaan huruf. Murid Imam Nafi’ yang lain adalah Qalun (Isa bin
Mina bin Wardan bin Isa bin Abdush Shamad bin Umar (120-220 H). Ia dikenal
sebagai pakar qira’at dan ilmu Nahwu di Madinah[19].
D. Madrasah
Iraq
Sepeninggal Nabi Muhammad Saw,
para sahabat bersungguh-sungguh untuk membaca, memahami,dan menjelaskan Alqur’an.
Namun belum seluruhnya ditafsirkan. Oleh sebab itu munculnya madrasah-madrasah,
baik di Mekkah, Madinah, dan Kufah (Irak) yang selanjutnya Madrasah-madrasah
itu menjadi tanggung jawab para muridnya. Seperti Kufah dilanjutkan oleh murid
Ibnu Mas’ud, seperti Masruq bin Ajda’. Metode madrasah ini didominasi oleh ra’yu
(ijtihad), yang selanjutnya memunculkan metode istidlal (pengambilan dalil).
Madrasah tafsir ini menekankan
penggunaan ra’yu (ijtihad), sebagai alat bantu yang digunakan apabila penjelasan
tidak ditemukan dalam AlQur’an dan hadits. Penggunaan ra’yu karena Kufah baru
dimerdekakan beberapa tahun setelah Nabi wafat sehingga dianggap sebagai negeri
yang memiliki pengetahuan baru dan peraturan baru.[20]
Pada umumnya Ulama yang
menggunakan ra’yu yaitu ulama Kufah. Sedangkan Madrasah Mekkah dan Madinah
lazim tumbuh subur dengan berpegangan kepada tafsir al-Ma’tsur.[21]
Jadi, Perbedaan tafsir ulama
generasi awal sudah mulai muncul dan sangat nampak di Kuffah. Ulama generasi
awal yang dimaksud adalah kalangan sahabat, thabi’in dan thabi’ thabi’in.
Perbedaan antara ulama generasi awal dalam menafsirkan AlQur’an jarang terjadi.[22] Namun, di Kuffah terjadi
perbedaan tafsir dari aspek istidlal (pengambilan dalil). Tafsir seperti ini
tidak mengacu langsung kepada riwayat dan ternyata tafsir yang menggunakan
metode ijtihad banyak memuat kesalahan. Seperti kalangan yang meyakini sejumlah
konsep kemudian menjelaskan redaksi AlQuran sesuai konsep tersebut. Yakni,
menitikberatkan pada makna yang ditangkap tanpa menghiraukan konsekuensi dari
sebuah teks AlQuran dari sisi lain. Contoh sederhana seseorang mengatakan, “aku
memperbolehkan tawasul bahkan dengan jin dan setan sekalipun, karena Allah
berfirman:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#þqäótGö/$#ur Ïmø‹s9Î) s's#‹Å™uqø9$# (#r߉Îg»y_ur ’Îû ¾Ï&Î#‹Î6y™ öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÎÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya,
dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S
Al-maidah 35)
“Jadi aku bertawasul dengan apa
saja.” Dia juga mengingkari sifat-sifat Allah Ta’ala dan berdalih dengan ayat:
}§øŠs9 ¾ÏmÎ=÷WÏJx. Öäï†x«
Artinya: Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. (Asy-Syura:
11)
“Jika aku menetapkan sifat bagi
Allah, berarti aku telah menyamakan Dia,” begitu alasannya. Mereka meyakini
akidah sepetti itu, kemudian memahami AlQur’an menurut keyakinannya.[23]
Pelbagai macam tafsir yang ada di
kalangan sekte-sekte islam pada hakikatnya bersumber pada tafsir bir ra’yi
untuk tujuan membenarkan ambisi mereka, atau untuk membenarkan ambisi mereka,
atau untuk memenangkan pandangan dan pemikiran mereka.[24]
Diantara tokoh-tokoh yang masyhur
di madrasah tafsir Iraq, adalah:
·
Masruq bin Ajda’
Masruq adalah orang yang terkenal
dengan kezuhudan, kewara’an dan kesederhanaannya.
Dari Amir As-sya’bi, dia berkata
“aku tidak pernah mengetahui ada orang yang lebih banyak berkelana diberbagai
tempat untuk mencari ilmu dari masruq”.
Al-ajali berkata, “Dia adalah
seorang thabi’in yang dapat dipercaya, dan termasuk salah seorang teman Abdullah
bin Mas’ud yang diperkenankan mengajar dan memberikan fatwa kepada khalayak
ramai. Dia banyak melakukan shalat hingga kedua kakinya membengkak.
Al-Mizzi berkata “Masruq
meriwayatkan dari beberaopa orang yang diantaranya: Ubay bin Ka’ab, Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Abdullah
bin Mas’ud.
Al-Mizzi berkata “Ada beberapa
orang yang meriwayatkan hadits dari Masruq antara lain Ibrahim An-Nakhai, Anas
bin Sirin, Ayyub bin Hani’, Jabar bin Rufaidah, Abu Wail Syaqiq bin Salamah,
‘Amir asy-Sya’bi, Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud.[25]
·
Hasan Al-Bashri
Adz-Dzahabi berkata “Dia adalah
seorang yang banyak kebaikannya dan baik seorang yang baik pula tabiatnya. Dia
adalah pelopor di bidang hadits, balaghah, AlQuran dan tafsirnya serta
cabang-cabang ilmu lainnya. Dia juga adalah imam bagi para mujtahid, banyak
membaca pandi memberikan nasehat dan peringatan, mampu menahan amarah dan ahli
ibadah, zuhud dan jujur serta mempunyai sifat yang pemberani.[26]
Sejarah ilmu tafsir mencatat
sejumlah kitab tafsir yang ditulis oleh mu’tazilah yang dikenal dalam pemikiran
islam sebagai pelopor rasionalisme dalam islam yang dimotori oleh Washil bin
‘Atha’. Awal kemunculan muktazilah sendiri pada waktu Washil mengikuti
pelajaran yang diberikan oleh Hasan al-Basri di mesjid Basrah, datang seseorang
bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Ketika hasan
al-basri masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya. Kemudian
washil menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ketempat lain dilingkungan
mesjid.[27]
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2013).
Al-Munawar,Said Agil Husin, al-Quran membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki, (Jakarta, PT Intermasa, t.t).
Hasbi as-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000).
Hepi andi Bastoni, 101 Kisah Tabi’in, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2006).
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu
Katsir Terj. Jilid 2,(Surabaya : Bina Ilmu,1992).
Masturi Irham, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka
al-Kausar, 2006).
Muhammad Abdul Adhim az-Zarqani, Manahil Irfan fi Ulum al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiah, 2004).
Muchtar Adam, Ulum al-Qur’an; Studi Perkembangan Ilmu-Ilmu
al-Qur’an, (Bandung: Makrifat Media Utama, t.t.).
M. Hasby Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Semarang :
Pustaka Rizki Putra,2002).
Muhammad Said Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,
Terj, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2008).
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta : Amzah, 2014).
Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin, Syarah Pengantar Ilmu Tafsir Ibnu Taimiyah, (jakarta : al-Kautsar,
2014).
Subhi as-Shalih, Terj. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004).
[1] Hasbi
as-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000), Cet. III, hlm. 212
[2] Muhammad Abdul
Adhim az-Zarqani, Manahil Irfan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Alamiah, 2004), hlm. 276
[3] Subhi
as-Shalih, Terj. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2004), Cet. IX, hlm. 413
[4] Muchtar Adam, Ulum
al-Qur’an; Studi Perkembangan Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Bandung: Makrifat Media
Utama, t.t.), hlm. 44
[5] Muchtar Adam,
Ulum al-Qur’an : Studi Perkembangan Ilmu-ilmu al-Qur’an,...hal.17
[6] Ibid, 19
[7] M. Hasby
Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Semarang : Pustaka Rizki
Putra,2002), hal. 223
[8] M. Hasby
Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an...., hal. 81
[9] Muchtar Adam,
Ulum al-Qur’an: Studi Perkembangan Ilmu-ilmu al-Qur’an.....hal.297
Biografi Ulama Salaf, (Jakarta:
Pustaka al-Kausar, 2006), hal.239
[10]Ibnu Katsier, Tafsir
Ibnu Katsir Terj. Jilid 2,(Surabaya : Bina Ilmu,1992), hal..112
[11] Masturi Irham,
60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2006), hal.239
[13]Masturi Irham,
60 Biografi Ulama Salaf......hal.241
[14] Ibid,.247
[15] Muhammad Abd
‘Azhim az-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Quran, Jil 1-2,... hlm
30-31
[16] al-Munawar,Said Agil Husin, al-Quran
membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta, PT Intermasa), h. 9
[17] Muhammad Said
Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Terj, (Jakarta,
Pustaka al-Kautsar, 2008), Hlm 339
[19] Hepi andi
Bastoni, 101 Kisah Tabi’in, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal.
434-440
[20] Samsurrohman, Pengantar
Ilmu Tafsir, (Jakarta : Amzah, 2014),hal.62
[22] Syaikh
Muhammad Shalih al-Utsaimin, Syarah
Pengantar Ilmu Tafsir Ibnu Taimiyah, (jakarta : al-Kautsar, 2014) hal.74-77
[24] Subhi shalih, Membahas
Ilmu-Ilmu al-Qur’an,... hlm.418
[26] Masturi Irham,
60 Biografi Ulama Salaf,... hal.114
شكرا
BalasHapusلا شكر على الواجب
Hapus